Eksistensi pendengung di Indonesia bisa ditelusuri mulai sejak tahun 2009. Mereka muncul pertama kali untuk mendukung promosi merek dan produk di media sosial. Namun akhir-akhir ini mereka mulai merambah ke dunia politik.
Terbatasnya informasi dan data mengenai aktivitas pendengung di media sosial merupakan salah satu alasan kami di CIPG (Centre for Innovation Policy and Governance) melakukan riset terkait topik ini pada tahun 2017.
CIPG melakukan wawancara mendalam dan analisis media sosial untuk mengetahui bagaimana cara kerja pendengung dalam mengamplifikasi pesan.
Perbedaan buzzer dan influencer
Daftar Isi
Jumlah audiens
Bila membahas perbedaan buzzer dan influencer, hal yang terlihat paling jelas adalah perbandingan jumlah followers mereka.
Dilansir dari Gardamaya, buzzer tidak memiliki followers yang banyak. Mereka pun terkadang bekerja dalam tim yang besar, berisi kurang lebih belasan orang.
Hal inilah yang membuat tugas mereka tak jarang berat. Buzzer wajib menyebarkan konten hingga berujung viral. Tanpa henti dan jeda hingga target tercapai.
Sedangkan, influencer memiliki jumlah audiens yang banyak. Kisaran followers pengikut akun influencer beragam, dari ribuan hingga jutaan.
Maka dari itu mereka tak perlu bekerja dengan banyak orang dan cukup mempromosikan sebuah brand lewat postingan yang cenderung terukur.
Engagement rate
Perbedaan selanjutnya antara buzzer dan influencer adalah tingkat keterlibatan audiens dengan post yang mereka tampilkan.
Menurut Xendit, dengan pola penyebaran informasi yang berulang-ulang, audiens cenderung menghindari post yang ditampilkan seorang buzzer.
Namun, bukan berarti hal tersebut adalah sesuatu yang buruk. Beberapa followers pasti akan mencoba mengamati pesan yang disampaikan oleh buzzer.
Sebaliknya, engagement rate seorang influencer biasanya jauh lebih tinggi.
Hal ini disebabkan oleh interaksi para influencer dengan audiensnya yang terkesan aktif dan terlihat natural.
Maka, tak jarang brand besar akan memilih jasa influencer ketimbang buzzer.
Berawal dari promosi merek ke politik
Fenomena buzzer semakin ramai sejak 2009 seiring meningkatnya popularitas strategi pemasaran dari mulut ke mulut untuk mendukung promosi produk yang lebih efektif kepada target pasar.
Responden kami mengatakan bahwa untuk promosi produk gawai, contohnya, sebuah kicauan dari satu paket jasa dengung yang terdiri sepuluh kicauan dapat dihargai Rp800.000 hingga Rp1,6 juta pada tahun 2017.
Para pendengung ini paling aktif beroperasi di Twitter. Hal ini didorong dengan popularitas Twitter di Indonesia. Jakarta sempat dijuluki sebagai ibukota dunia untuk Twitter pada tahun 2012.
Dinilai efektif untuk menarik perhatian dan menyampaikan pesan kepada khalayak, pendengung kemudian mulai digunakan oleh kandidat dan partai politik secara masif pada Pemilihan Kepala Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta tahun 2012.
Semenjak itu, penggunaan pendengung oleh kandidat partai politik diketahui tidak pernah absen pada setiap perhelatan pemilihan umum (pemilu) hingga pemilihan presiden (pilpres) 2019.
Bermula dari promosi produk dan merambah ke politik, sejak 2014 jasa pendengung sudah menjadi industri yang mapan.
Pada sisi permintaan ada perusahaan dan partai politik atau tokoh politik yang membutuhkan jasa pendengung untuk memoles citra produk atau kandidat politik. Mereka memiliki alokasi dana untuk membayar jasa pendengung. Nilai satu proyek dengungan untuk tujuan kampanye politik di media sosial dapat mencapai Rp3 miliar untuk kontrak selama satu bulan.
Sedangkan tenaga-tenaga perorangan hingga ke tingkat koordinator dihargai dengan kisaran nilai Rp3 juta hingga Rp6 juta selama sebulan untuk mengamplifikasi pesan yang diinginkan.
Strategi Buzzer
Buzzer menggunakan beragam strategi untuk mengamplifikasi sebuah pesan. Salah satunya, pendengung menggunakan akun bot secara masif dengan memanfaatkan otomasi mesin dan algoritma media sosial sehingga dapat menghasilkan kicauan frekuensi tinggi dan mencapai trending topic.
Dalam beberapa kasus, pendengung juga menggunakan bot untuk membuat dan memenangkan polling pilihan calon presiden dan calon wakil presiden seperti yang terjadi pada pilpres 2019
Selain itu, pendengung juga bisa menyebarkan pesan dengan menempatkan dua atau lebih akun untuk terlibat dalam sebuah percakapan di mana satu akun akan bertindak sebagai pihak yang mendukung sedangkan lainnya menjadi pihak yang kontra terhadap topik percakapan. Strategi demikian diharapkan dapat memancing rasa penasaran dan keterlibatan pengguna media sosial sehingga pesan dapat memperoleh perhatian luas.
Selain melalui media sosial, pendengung bisa menyebarkan pesan tersebut ke jaringan yang mereka miliki melalui aplikasi pesan seperti Whatsapp dan Telegram.
Biasanya seorang pendengung tergabung dalam banyak grup aplikasi pesan yang dalam setiap grup terdapat lebih dari ratusan anggota. Didukung kemampuan produksi konten, jaringan luas yang dimiliki para pendengung ini kemudian membantu memviralkan sebuah pesan dengan cepat.
Kegaduhan di ruang publik
Namun, berbeda dengan promosi produk, cara kerja pendengung politik dalam mempromosikan kandidatnya seringkali lekat dengan bias, disinformasi, dan kampanye hitam. Strategi kotor ini menyerang semua calon yang berkompetisi.
Misalnya Joko “Jokowi” Widodo dalam pencalonannya sebagai presiden seringkali dituduh sebagai pendukung komunis dan anti-Islam, sedangkan lawannya Prabowo seringkali diserang sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan pendukung terbentuknya negara Islam. Sehingga akhirnya muncul tagar #PancasilaVsKhilafah dan PKIVsPancasila pada Pilpres 2019.
Aktivitas demikian menyebabkan pendengung yang pada awalnya dipandang lumrah sebagai jasa promosi produk perlahan mulai dipandang negatif.
Bisingnya dengungan para pendengung dapat menurunkan kualitas ruang publik dan demokrasi apabila berlangsung berkepanjangan.
Fabrikasi percakapan, perang tagar serta disinformasi yang diproduksi oleh para pendengung politik dapat menimbulkan distorsi di ruang publik, mengaburkan batas antara aspirasi publik yang otentik dengan aspirasi rekaan.
Akibatnya, aspirasi dan kritik publik tidak tersampaikan dengan baik kepada pemerintah dan sensitivitas pemerintah terhadap kritik dan masukan publik memudar.
Kontrol dan pemantauan publik terhadap ruang publik media sosial oleh karena itu perlu terus dilakukan.
Salah satunya dengan cara mengedukasi publik sehingga mereka bisa melakukan cek fakta dan verifikasi informasi secara mandiri.